الأربعاء، 23 يناير 2013

Makalah Biografi Gus Dur


MAKALAH FINAL
BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas:
Mata Kuliyah                                     : Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu                                           : Dwi Istiyani, M. Ag
                 
Oleh:
Qonitatan Yuhanidz                  2021 111 342 

Kelas I

PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISAM NEGERI
PEKALONGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata – kata yang singkat saja : Kompleks dan NyelenehOleh karena itu pribadi Gus Dur cenderung sulit untuk dipahami tergantung siapa yang melihat dan memahami/ menafsirkan.
Bahkan pada saat ia menjabat sebagai presiden RI, sempat muncul anekdot tentang tiga misteri Tuhan : bahwa ada tiga Misteri Tuhan yang tidak bisa dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi, yakni jodoh, kematian dan Gus Dur.
Bagi orang-orang awam dan pengikut-pengikutnya bahkan ilmuwan intelek sekalipun, Gus Dur sering kali dilihat sebagai pribadi yang misterius, tak terduga, dan weruh sadurunge winarah (bisa mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi). Sebuah kata – kata jawa yang memiliki makna sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.
            Akan tetapi bagi orang yang sinis, Gus Dur barangkali akan dipahami sebagai orang yang memotong jalan orang lain, mengobrak-abrik barisan yang mapan, dan tidak jarang ngawur dan oportunis. Bagi seorang politikus, sikap nyeleneh Gus Dur barang kali akan selalu dikaitkan dengan kepentingan poliitik diri dan kelompoknya, ataupun caper (cari perhatian) dan bagi intelektual yang berjarak, dia mungkin akan menilai Gus Dur  sebagai pribadi yang terkadang baik bahkan sangat baik, dan terkadang ngawur dan bahkan sangat ngawur, tetapi memang punya kenekatan yang luar biasa dalam hal – hal tertentu, terutama dalam situasi yang genting atau menyangkut sesuatu yang prinsip, seperti hak bicara dan berekspresi, hubungan antar agama dan misi perdamaian.



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Kehidupan dan Pendidikan Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Ad-dakhil bin Wahid Hayim bin Hasyim Asy’ary, demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya.[1]
Sosok yang pernah menjadi presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.  Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa.  Kakek dari ayahnya K.H. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jaawa Timur dan pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama.
Sementara itu kakek dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kyai cikal-bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul ‘Ulama (NU), di samping K.H.A. Wahab Hasbullah.
Dalam banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan sebagai “putra mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul ‘Ulama sebagai pewaris cita-cita ayahnya dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan ayahnya, K.H Wahid Hasyim terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama yang diberikannya: Abdurrahman Ad-dakhil atau “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil K.H. Wahid Hasyim dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol beradab silam.
Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H.Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rummah pemimpin modernis, K.H. Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Pendidikan keagamaan selanjutnya diasa di bebrapa pondok pesantren Nahdlatul ‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separoh santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul ‘Ulum, pesantren Tambaberas, Jombang, Jawa Timur kepada K.H. Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren Krapyak, dan tinggal tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka K.H. Ma’shum. Setelah itu, ie memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad.[2]

B.     Abdurrahman Wahid dan Nahdlatul ‘Ulama
Sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984, NU seakan menjadi ikon dan lokomotif baru dalam gerakan pemikiran keagamaan, perjuangan politik untuk demorasi dan pembangunan sikap toleran terhadap keberagamaan masyarakat. Dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid, NU telah dapat dikatakan memperoleh wajah modern. Dan sepanjang 15 (lima belas) tahun terakhir abad ke-20, politik Indonesia didominasi oleh cerita dan berita tentang NU, Abdurrahman Wahid dan kyai-kyai yang independen dan bijak. [3]
Pengaruh dan popularitas Nahdlatul ‘Ulama, Abdurrahman Wahid dan kyai-kyai sekurang-kurangnya terkait dengan tiga hal penting. Pertama, dengan dipelopori oleh Abdurrahman Wahid dan kyai-kyai berpengaruh, pada Muktamar Situbondo Nahdlatul ‘Ulama menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar organisasi.
Kedua, Abdurrahman Wahid dan kyai-kyai Nahdlatul ‘Ulama, khususnya pasca Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta tahun 1989, menjadi kekuatan yang sangat kritis terhadap pemerintah. Sikap kritis pertama ditunjukan dengan penolakan bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Abdurrahman Wahid melihat ICMI dari dua sisi yang sama-sama kontaproduktif terhadap Islam dan demokrasi. Sisi yang satu adalah ICMI digunakan oleh Presiden Soeharto untuk menebar basis kekuasaannya, terutama karena mengendurnya dukungan ABRI padanya. Di sisi yang lain, dengan teori “Kuda Troya”, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa beberapa aktivis Islam yang masuk ke ICMI menerima Pancasila hanya sebagai taktik untuk masuk ke dalam pemerintahan dan melakukan Islamisasi dari dalam. Sarana ideal untuk Islamisasi pemerintahan adalah ICMI, karrena ia sebuah organisasi yang disponsori pemerintah dengan anggota dari kalangan birokrasi.
Ketiga, “kemenangan” Abdurrahman Wahid atas Presiden Soeharto setelah sekian lama keduanya berseberangan, di mana Presiden Soeharto terus-menerus berusaha menyingkirkan Abdurrahman Wahid, terutama dari pucuk pimpinan NU.
Pada awalnya, hubungan Abdurrahman Wahid dengan Soeharto tidak bermasalah. Pada Muktamar ke-28 NU di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 25-29 November 1989 misalnya, Soeharto tidak keberatan jika Abdurrahman Wahid maju kembali sebagai Ketua Umum PBNU. Namun bukan itu yang menyebabkan Abdurrahman Wahid terpilih. Tetapi lebih karena keberhasilannya mempertahankan arus gerakan NU dalam semangat khittah 1926.
Watak NU yang kritis terhadap pemerintah muncul kembali pada awal 1990-an, terutama kekritisan Abdurrahman Wahid yang embuat pemerintah terus berusaha menyingkirkannya. Pada Muktamar NU ke-30 NU di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat, 1-4 Desember 1994, Presiden Soeharto secara nyata menolaknya. Meski intervensi pemerintah sangat kuat, Abdurrahman Wahid akhirnya terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU mengalahkan jago pemerintah, Abu Hasan, Pengurus Besar NU hasil Muktamar Cipasung pun tidak diterima menghadap Presiden Soeharto. Pengurus Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar di Banda Aceh yang muktamarnya dilaksanakan belakangan, tepatnya 6-10 Juli 1995, sudah lebih dulu diterima menghadap presiden. Pemerintah juga membiarkan (kalau bukan mendukung) Abu Hasan mendirikan Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul ‘Ulama (KPPNU).
Abdurrahman Wahid dan kyai-kyai tidak menyerah dan tetap konsisten sebagai kekuatan kritis terhadap pemerintah. Sampai akhirnya, Presdien Soeharto yang sangat kuat dan ditakuti pun kalah. Pada 2 November 1996, Presiden Soeharto datang dan membuka Mukernas ke-5 RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah - Perhimpunan Pondok Pesantren Nahdlatul ‘Ulama) disambut oleh Ketua Umum PBNU, Abdurrahman Wahid dan Ketua PP RMI, K.H. Aziz Masyhuri.

C.     Pemikiran dan Perjuangan Abdurrahman Wahid
Setidaknya ada lima gugus besar pemikiran yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid sepanjang hidupnya melalui berbagai aktivitas sosial, politik dan keagamaannya.
Pertama, dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU, syariat Islam diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan kedamaian, kemaslahatan dan kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu, para ulama di masa lampau merumuskan sebuah konsep yang dienal dengan maqashid as-syari’ah atau tujuan-tujuan syariat.
Dalam satu karya monumentalnya, al-Mustasyfa (Jilid I, hlm. 278), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat diturunan kepada manusia adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: agama dan keyakinan, jiwa, akal, keturunan, dan harta atau hak milik pribadi. Dengan demikian, Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid sangat melindungi kebebasan beragama, berkeyakinan, berprofesi dan berfikir. Islam sangat melindungi dan menghormati hak-hak asasi manusia (HAM).
Sesuai dengan tujuan syariat, Abdurrahman Wahid sangat mengedepankan toleransi beeragama dan menjunjung tinggi komunikasi dengan kelompok agama berbeda. Bagi Abdurrahman Wahid, kebesaran Islam di masa lampau bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu menyerap nilai-nilai dari peradaban dan agama lain.
Kedua, Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan. Baginya, kekerasan bukan hanya bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam, tetai juga merugikan Islam itu sendiri. Dalam konteks inilah, Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat seagama maupun antar-agama.
Menurut Abdurrahman Wahid, pertentangan penadapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan kelompok lain. Toleransi justeru bisa lebih membawa hasil. Baginya, hak hidup dan menjalankan ajaran agama yang diyakini merupakan hak dasar yang dijamin sepenuhnya oleh syariat.
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Demokrasi dapat mengubah kecerai-beraian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa.
Keempat, Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi, dimana menurut pandangannya, agama dan budaya bersifat saling melengkapi. Agama bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untukk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk udaya.
Kelima, menurut Abdurrahman Wahid, Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama, kata beliau, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi negara.[4]

D.    Keteladanan Leadership Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Bagi Masa Depan Keislaman dan Kebangsaan
Pandangan dan sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan sikap rahmatan lil ‘alamin, yakni membawa kebaikan dan kedamaian kepada orang lain, kepada masyarakat lain, kepada kelompok agama lain, kepada suku lain, kepada berbagai tataran keilmuan dan profesi lain, serta kepada bangsa lain. Dari penekanan ini, kemudian muncul sikap kasih sayang (rahmat) dan mengesampingkan sinisme yang disebabkan oleh “merasa yang paling benar”, “merasa kuat”, dan lain sebagainya. Sikap kasih sayang ini adalah garis pembatas agar kita tidak melakukan sesuatu yang membuat sakit hati suatu suku, suatu agama, atau suatu kelompok, serta mengekang keinginan untuk menguasai atau menindas.
Dari penekanan pada prinsip rahmatan lil ‘alamin ini, keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih tinggi, yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Dengan prinsip khalifah fil ardhi, aka segala tindakan selalu akan dilandasi niatan tulus dan kasih sayang, didasari kedamaian dan demi kesejahteraan (rahmat), sebagaimana nilai-nilai asmaul Husna dalam mencapai keharmonisan kehidupan di bumi ini. Sebagai khalifah, maka setiap pribadi harus bersikap terbuka pada semua kepentingan dan keberadan berbagai sendi kehidupan yang ada di muka bumi ini, seperti keberadaan tingkat keilmuan, keberadaan taraf hidup, keberadaan keyakinan, dan keberadaan dalam tingkat kemampuan melakukan ketaatan peribadatan. Dengan keterbukaan untuk berdialog dengan semua sendi kehidupan tersebut diharapkan tercapai titik temu jalan kebersamaan untuk meningkatkannya menuju tingkat ideal. Salah satu tugas utama dari setiap orang yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).

E.     Beberapa Keistimewaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
1.      Mudah Mengenal dan Dikenal
Bila ada adagium yang berbunyi: “khaliftu ‘arf” (berbedalah, niscaya Anda akan dikenal), maka bagi Gus Dur maslahnya bukan “asal berbeda”, meskipun kenyataannya dirinya sering menunjukan “perbedaan”. Gus Dur, misalnya, tidak jarang mengeluarkan pernyataan kontroversial dan berbeda dengan pandangan masyarakat kebanyakan.
Namun, sesungguhnya apa yang diungkapkan Gus Dur tetap kerangka kepentingan umat, bangsa dan negara. Di samping itu, dia juga hendak meluruskan pandangan-pandangan keliru yang selama ini dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat. Hanya saja, terkadang membutuhkan ketajaman berfikir dan kesabaran untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami dan menafsirkan pikiran-pikirannya. Akan tetapi, bagaimanapun kesalahpahaman atau perbedaan pendapat, tentu merupakan hal yang wajar dalam kehidupan masyarakat.
Pandangan-pandangan Gus Dur yang dianggap “nyleneh” oleh sebagian orang membuat dirinya mudah dikenal secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal ini membuat Gus Dur sering mendapat penghargaan sebagai “orang terpopuler” dari berbagai lembaga, baik nasional maupun internasional.
Selain menjadi orang yang banyak dikenal, ternyata Gus Dur juga merupakan sosok yang mudah mengenal orang lain. Dengan kecerdasan, keluaasan wawasan pengetahuannya dan sikap tawadlu’nya, Gus Dur tida segan-segan berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapapun dan kelompok manapun. Gus Dur adalah pribadi yang interaksi sosialnya begitu luas; lintas profesi, agama, etnik dan bangsa.[5]

2.      Sense of Humor yang Sangat Tinggi
Humor bagi Gus Dur merupakan pelengkap hidup yang sudah melekat dalam kepribadiannya. Dalam kesempatan dan pembicaraan masalah-masalah apapun selalu terdengar joke-joke segarnya. Sikap Gus Dur yang humoris ternyata mampu mencairkan situasi yang tegang, mempermudah sesuatu yang ruwet, eringankan hal yang berat, an membuat simpel sesuatu yang pelik dan ‘njlimet’.
Citra rasa humor yang tinggi ini enjadikan Gus Dur selalu tampil santai dan sederhana. Kalimat “gitu aja kok repot”, seolah sudah menjadi “trade mark” Gus Dur. Menariknya lagi, Gus Dur mampu membawa siapapun lawan bicaranya ke dalam suasana humor, baik kawan ataupun lawan.
Meski demikian, humor-humor yang ditunjukan Gus Dur bukan tanpa arti atau sekedar “barang candaan”. Dengan humor-humornya, Gus Dur tetap mampu memelihara substansi masalah yang sedang dibicarakan, bahkan akhirnya mudah dipahami oleh semua orang.
3.      Berjiwa Pluralis
Wawasan Gus Dur tentang ajaran Islam demikian konprehensif dan mendalam (kaffah), sehingga sangat menghargai pluralisme (kemajemukan). Gus dur tidak membedakan satu individu dengan individu lainnya atau kelompok satu dengan kelompok lainnya. Mereka adlah manusia yang hidup dalam suatu kemajemukan. Perbedaan etnik, bangsa, warna kulit, bahasa, profesi, hobi, bahkan agama dan keyakinan merupakan suatu keniscayaan yang harus dihormati, dihargai dan tidak perlu dijadikan kendala dalam pergaulan antar umat manusia.
Pluralisme bukan berarti generalisasi terhadap kebenaran, tetapi sebuah paham yang mengajarkan kesadaran bahwa, di luar keyakinan yang ita pegang, ada keyakinan-keyakinan lain yang berbeda. Pluralisme mengajarkan akan adanya kemajemukan dalam kelompok-kelompok manusia.
Saking pluralismenya, sampai-sampai tidak jarang Gus Dur tidak mengetahui agama dan keyakinan orang yang sudah lama dikenalnya. Terhadap orang-orang dan dalam kondisi tertentu, Gus Dur tidak pernah bertanya tentang hal-hal yang dianggapnya sensitif, termasuk agama dan keyakinan. Demikianlah Gus dur dalam bergaul. Ia begitu luwes, hangat, egaliter, tidak pandang bulu dan anti diskriminasi.[6]








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.  Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa. 
Pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984 Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU).
Lima gugus pemikiran Gus Dur:
1.      Dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU
2.      Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan
3.      Demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
4.      Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi
5.      Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial.
Pandangan dan sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan sikap rahmatan lil ‘alamin, memberikan kasih sayang kepada semua manusia tanpa pandang bulu. Keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih tinggi, yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Salah satu tugas utama dari setiap orang yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).
Sebagai seorang yang ‘alim beliau mempunyai banyak keistimewaan, seperti mudah mengenal dan dikenal oleh orang lain, sense of humornya yang tinggi dan juga jiwa pluralisme yang melekat pada diri beliau.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtir , A. Nur Alam. 2008.  99 Keistimewaan Gus Dur.  Jakarta: Kultura.
Iskandar, A Muhaimin. 2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
Masdar, Umaruddin. 2005. Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan. Jogjakarta: KLIK.R
N. Ibad, M. 2010. Leadership Secrets of Gus Dur-Gus Miek: Rahasia Mengelola Potensi Diri Untuk Menjadi Pemimpin yang Dicintai. Yogyakarta: PT. LKiS.
Saefullah, Aris. 2003. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural.


[1] Aris Saefullah. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. (Yogyakarta: laelathinkers, 2003). Hlm. 65
[2] Ibid. Hlm. 65-67
[3] Umaruddin Masdar. Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan. (Jogjakarta: KLIK.R, 2005). Hlm.57
[4] A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. (Yogyakarta: LKiS, 2010). Hlm. 8-12
[5] A. Nur Alam Bakhtir. 99 Keistimewaan Gus Dur. (Jakarta: Kultura, 2008). Hlm. 1-2
[6] Ibid. Halaman. 20-22

هناك تعليق واحد:

  1. How to Play Online Baccarat - Wilbur | Wilbur | Wilbur |
    For the 바카라 사이트 uninitiated, Baccarat is a favorite among gamblers at the best casino カジノ シークレット for a high stakes card game, which features the 메리트카지노 best hand, the best chance of

    ردحذف