MAKALAH FINAL
BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN WAHID
(GUS DUR)
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas:
Mata Kuliyah : Sejarah
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dwi
Istiyani, M. Ag
Oleh:
Qonitatan
Yuhanidz 2021 111 342
Kelas
I
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISAM NEGERI
PEKALONGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata –
kata yang singkat saja : Kompleks dan Nyeleneh. Oleh karena itu
pribadi Gus Dur cenderung sulit untuk dipahami tergantung siapa yang melihat
dan memahami/ menafsirkan.
Bahkan pada saat ia menjabat sebagai presiden RI, sempat muncul
anekdot tentang tiga misteri Tuhan : bahwa ada tiga Misteri Tuhan yang tidak
bisa dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi, yakni jodoh,
kematian dan Gus Dur.
Bagi orang-orang awam dan pengikut-pengikutnya bahkan ilmuwan
intelek sekalipun, Gus Dur sering kali dilihat sebagai pribadi yang misterius,
tak terduga, dan weruh sadurunge winarah (bisa mengetahui
sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi). Sebuah kata – kata jawa yang
memiliki makna sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.
Akan
tetapi bagi orang yang sinis, Gus Dur barangkali akan dipahami sebagai
orang yang memotong jalan orang lain, mengobrak-abrik barisan yang mapan, dan
tidak jarang ngawur dan oportunis. Bagi seorang politikus, sikap nyeleneh Gus
Dur barang kali akan selalu dikaitkan dengan kepentingan poliitik diri dan
kelompoknya, ataupun caper (cari perhatian) dan bagi intelektual yang berjarak,
dia mungkin akan menilai Gus Dur sebagai pribadi yang terkadang baik
bahkan sangat baik, dan terkadang ngawur dan bahkan sangat ngawur, tetapi
memang punya kenekatan yang luar biasa dalam hal – hal tertentu, terutama dalam
situasi yang genting atau menyangkut sesuatu yang prinsip, seperti hak bicara
dan berekspresi, hubungan antar agama dan misi perdamaian.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Kehidupan dan
Pendidikan Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Ad-dakhil bin
Wahid Hayim bin Hasyim Asy’ary, demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid
yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan
berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian
juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya.[1]
Sosok yang pernah menjadi
presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4
Agustus 1940. Ia adalah putra dari
mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan
merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa. Kakek dari ayahnya K.H. Hasyim Asy’ari adalah
ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jaawa Timur dan
pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama.
Sementara itu kakek dari
pihak ibunya, K.H. Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar,
Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul
‘Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kyai
cikal-bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul ‘Ulama (NU), di samping
K.H.A. Wahab Hasbullah.
Dalam banyak aspek
Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan sebagai “putra mahkota” yang
kelak akan memimpin Nahdlatul ‘Ulama sebagai pewaris cita-cita ayahnya dan
kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan ayahnya, K.H Wahid Hasyim
terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama yang diberikannya:
Abdurrahman Ad-dakhil atau “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil K.H.
Wahid Hasyim dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak
kejayaan Islam di Spanyol beradab silam.
Setamat Sekolah Dasar di
Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikannya pada Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil
sesekali belajar mengaji pada K.H.Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri
tinggal di rummah pemimpin modernis, K.H. Junaid, seorang ulama yang merupakan
anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Pendidikan keagamaan
selanjutnya diasa di bebrapa pondok pesantren Nahdlatul ‘Ulama terkemuka,
antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu
belajarnya kurang dari separoh santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959
hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul ‘Ulum, pesantren Tambaberas,
Jombang, Jawa Timur kepada K.H. Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke
Yogyakarta untuk mondok di pesantren Krapyak, dan tinggal tinggal di rumah
pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka K.H. Ma’shum. Setelah itu, ie memperdalam
ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir),
kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad.[2]
B. Abdurrahman
Wahid dan Nahdlatul ‘Ulama
Sejak Abdurrahman Wahid
terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU) pada
Muktamar ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984, NU seakan menjadi ikon dan
lokomotif baru dalam gerakan pemikiran keagamaan, perjuangan politik untuk
demorasi dan pembangunan sikap toleran terhadap keberagamaan masyarakat. Dengan
terpilihnya Abdurrahman Wahid, NU telah dapat dikatakan memperoleh wajah
modern. Dan sepanjang 15 (lima belas) tahun terakhir abad ke-20, politik
Indonesia didominasi oleh cerita dan berita tentang NU, Abdurrahman Wahid dan
kyai-kyai yang independen dan bijak. [3]
Pengaruh dan popularitas
Nahdlatul ‘Ulama, Abdurrahman Wahid dan kyai-kyai sekurang-kurangnya terkait
dengan tiga hal penting. Pertama, dengan dipelopori oleh Abdurrahman
Wahid dan kyai-kyai berpengaruh, pada Muktamar Situbondo Nahdlatul ‘Ulama
menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar organisasi.
Kedua, Abdurrahman Wahid dan kyai-kyai Nahdlatul ‘Ulama,
khususnya pasca Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta tahun 1989, menjadi kekuatan
yang sangat kritis terhadap pemerintah. Sikap kritis pertama ditunjukan dengan
penolakan bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Abdurrahman Wahid melihat
ICMI dari dua sisi yang sama-sama kontaproduktif terhadap Islam dan demokrasi.
Sisi yang satu adalah ICMI digunakan oleh Presiden Soeharto untuk menebar basis
kekuasaannya, terutama karena mengendurnya dukungan ABRI padanya. Di sisi yang
lain, dengan teori “Kuda Troya”, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa beberapa
aktivis Islam yang masuk ke ICMI menerima Pancasila hanya sebagai taktik untuk
masuk ke dalam pemerintahan dan melakukan Islamisasi dari dalam. Sarana ideal
untuk Islamisasi pemerintahan adalah ICMI, karrena ia sebuah organisasi yang
disponsori pemerintah dengan anggota dari kalangan birokrasi.
Ketiga, “kemenangan” Abdurrahman Wahid atas Presiden
Soeharto setelah sekian lama keduanya berseberangan, di mana Presiden Soeharto
terus-menerus berusaha menyingkirkan Abdurrahman Wahid, terutama dari pucuk
pimpinan NU.
Pada awalnya, hubungan
Abdurrahman Wahid dengan Soeharto tidak bermasalah. Pada Muktamar ke-28 NU di
Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 25-29 November 1989 misalnya, Soeharto
tidak keberatan jika Abdurrahman Wahid maju kembali sebagai Ketua Umum PBNU.
Namun bukan itu yang menyebabkan Abdurrahman Wahid terpilih. Tetapi lebih
karena keberhasilannya mempertahankan arus gerakan NU dalam semangat khittah
1926.
Watak NU yang kritis
terhadap pemerintah muncul kembali pada awal 1990-an, terutama kekritisan
Abdurrahman Wahid yang embuat pemerintah terus berusaha menyingkirkannya. Pada
Muktamar NU ke-30 NU di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat, 1-4
Desember 1994, Presiden Soeharto secara nyata menolaknya. Meski intervensi
pemerintah sangat kuat, Abdurrahman Wahid akhirnya terpilih kembali sebagai
Ketua Umum PBNU mengalahkan jago pemerintah, Abu Hasan, Pengurus Besar NU hasil
Muktamar Cipasung pun tidak diterima menghadap Presiden Soeharto. Pengurus
Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar di Banda Aceh yang muktamarnya dilaksanakan
belakangan, tepatnya 6-10 Juli 1995, sudah lebih dulu diterima menghadap
presiden. Pemerintah juga membiarkan (kalau bukan mendukung) Abu Hasan
mendirikan Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul ‘Ulama (KPPNU).
Abdurrahman Wahid dan
kyai-kyai tidak menyerah dan tetap konsisten sebagai kekuatan kritis terhadap
pemerintah. Sampai akhirnya, Presdien Soeharto yang sangat kuat dan ditakuti
pun kalah. Pada 2 November 1996, Presiden Soeharto datang dan membuka Mukernas
ke-5 RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah - Perhimpunan Pondok Pesantren
Nahdlatul ‘Ulama) disambut oleh Ketua Umum PBNU, Abdurrahman Wahid dan Ketua PP
RMI, K.H. Aziz Masyhuri.
C.
Pemikiran dan Perjuangan Abdurrahman Wahid
Setidaknya ada lima gugus besar
pemikiran yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid sepanjang hidupnya melalui
berbagai aktivitas sosial, politik dan keagamaannya.
Pertama, dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan
NU, syariat Islam diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali
untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan kedamaian,
kemaslahatan dan kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu, para ulama di
masa lampau merumuskan sebuah konsep yang dienal dengan maqashid as-syari’ah
atau tujuan-tujuan syariat.
Dalam satu karya monumentalnya,
al-Mustasyfa (Jilid I, hlm. 278), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat
diturunan kepada manusia adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: agama dan
keyakinan, jiwa, akal, keturunan, dan harta atau hak milik pribadi. Dengan
demikian, Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid sangat melindungi kebebasan
beragama, berkeyakinan, berprofesi dan berfikir. Islam sangat melindungi dan
menghormati hak-hak asasi manusia (HAM).
Sesuai dengan tujuan syariat,
Abdurrahman Wahid sangat mengedepankan toleransi beeragama dan menjunjung
tinggi komunikasi dengan kelompok agama berbeda. Bagi Abdurrahman Wahid,
kebesaran Islam di masa lampau bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu
menyerap nilai-nilai dari peradaban dan agama lain.
Kedua, Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan.
Baginya, kekerasan bukan hanya bertentangan secara diametral dengan ajaran
Islam, tetai juga merugikan Islam itu sendiri. Dalam konteks inilah,
Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat seagama maupun
antar-agama.
Menurut Abdurrahman Wahid,
pertentangan penadapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau
menyesatkan kelompok lain. Toleransi justeru bisa lebih membawa hasil. Baginya,
hak hidup dan menjalankan ajaran agama yang diyakini merupakan hak dasar yang
dijamin sepenuhnya oleh syariat.
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dalam
dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan
kekuatan-kekuatan bangsa.
Demokrasi dapat mengubah
kecerai-beraian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama
menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa.
Keempat, Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi, dimana menurut
pandangannya, agama dan budaya bersifat saling melengkapi. Agama bersumber dari
wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif,
karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas
manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung
untukk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi
kehidupan beragama dalam bentuk udaya.
Kelima, menurut Abdurrahman Wahid, Islam akan lebih efektif dan membumi
jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama, kata beliau, tidak akan
kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan
kebesarannya akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan
massif dari institusi negara.[4]
D.
Keteladanan Leadership Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Bagi Masa Depan
Keislaman dan Kebangsaan
Pandangan dan sikap Gus Dur dalam
keislaman menekankan sikap rahmatan lil ‘alamin, yakni membawa kebaikan
dan kedamaian kepada orang lain, kepada masyarakat lain, kepada kelompok agama
lain, kepada suku lain, kepada berbagai tataran keilmuan dan profesi lain,
serta kepada bangsa lain. Dari penekanan ini, kemudian muncul sikap kasih
sayang (rahmat) dan mengesampingkan sinisme yang disebabkan oleh “merasa yang
paling benar”, “merasa kuat”, dan lain sebagainya. Sikap kasih sayang ini
adalah garis pembatas agar kita tidak melakukan sesuatu yang membuat sakit hati
suatu suku, suatu agama, atau suatu kelompok, serta mengekang keinginan untuk
menguasai atau menindas.
Dari penekanan pada prinsip rahmatan
lil ‘alamin ini, keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman
yang lebih tinggi, yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi).
Dengan prinsip khalifah fil ardhi, aka segala tindakan selalu akan
dilandasi niatan tulus dan kasih sayang, didasari kedamaian dan demi
kesejahteraan (rahmat), sebagaimana nilai-nilai asmaul Husna dalam mencapai
keharmonisan kehidupan di bumi ini. Sebagai khalifah, maka setiap pribadi harus
bersikap terbuka pada semua kepentingan dan keberadan berbagai sendi kehidupan
yang ada di muka bumi ini, seperti keberadaan tingkat keilmuan, keberadaan
taraf hidup, keberadaan keyakinan, dan keberadaan dalam tingkat kemampuan
melakukan ketaatan peribadatan. Dengan keterbukaan untuk berdialog dengan semua
sendi kehidupan tersebut diharapkan tercapai titik temu jalan kebersamaan untuk
meningkatkannya menuju tingkat ideal. Salah satu tugas utama dari setiap orang
yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah menempatkan segala
sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan memandang segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).
E.
Beberapa Keistimewaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
1.
Mudah Mengenal dan Dikenal
Bila ada adagium yang berbunyi: “khaliftu
‘arf” (berbedalah, niscaya Anda akan dikenal), maka bagi Gus Dur maslahnya
bukan “asal berbeda”, meskipun kenyataannya dirinya sering menunjukan
“perbedaan”. Gus Dur, misalnya, tidak jarang mengeluarkan pernyataan
kontroversial dan berbeda dengan pandangan masyarakat kebanyakan.
Namun, sesungguhnya apa yang
diungkapkan Gus Dur tetap kerangka kepentingan umat, bangsa dan negara. Di
samping itu, dia juga hendak meluruskan pandangan-pandangan keliru yang selama
ini dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat. Hanya saja, terkadang
membutuhkan ketajaman berfikir dan kesabaran untuk menghindari kesalahpahaman
dalam memahami dan menafsirkan pikiran-pikirannya. Akan tetapi, bagaimanapun
kesalahpahaman atau perbedaan pendapat, tentu merupakan hal yang wajar dalam
kehidupan masyarakat.
Pandangan-pandangan Gus Dur yang
dianggap “nyleneh” oleh sebagian orang membuat dirinya mudah dikenal
secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal ini membuat Gus Dur sering
mendapat penghargaan sebagai “orang terpopuler” dari berbagai lembaga, baik nasional
maupun internasional.
Selain menjadi orang yang banyak
dikenal, ternyata Gus Dur juga merupakan sosok yang mudah mengenal orang lain.
Dengan kecerdasan, keluaasan wawasan pengetahuannya dan sikap tawadlu’nya,
Gus Dur tida segan-segan berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapapun dan
kelompok manapun. Gus Dur adalah pribadi yang interaksi sosialnya begitu luas;
lintas profesi, agama, etnik dan bangsa.[5]
2.
Sense of Humor yang Sangat Tinggi
Humor bagi Gus Dur merupakan
pelengkap hidup yang sudah melekat dalam kepribadiannya. Dalam kesempatan dan
pembicaraan masalah-masalah apapun selalu terdengar joke-joke segarnya.
Sikap Gus Dur yang humoris ternyata mampu mencairkan situasi yang tegang,
mempermudah sesuatu yang ruwet, eringankan hal yang berat, an membuat simpel
sesuatu yang pelik dan ‘njlimet’.
Citra rasa humor yang tinggi ini
enjadikan Gus Dur selalu tampil santai dan sederhana. Kalimat “gitu aja kok
repot”, seolah sudah menjadi “trade mark” Gus Dur. Menariknya lagi, Gus Dur
mampu membawa siapapun lawan bicaranya ke dalam suasana humor, baik kawan
ataupun lawan.
Meski demikian, humor-humor yang
ditunjukan Gus Dur bukan tanpa arti atau sekedar “barang candaan”. Dengan
humor-humornya, Gus Dur tetap mampu memelihara substansi masalah yang sedang
dibicarakan, bahkan akhirnya mudah dipahami oleh semua orang.
3.
Berjiwa Pluralis
Wawasan Gus Dur tentang ajaran Islam
demikian konprehensif dan mendalam (kaffah), sehingga sangat menghargai
pluralisme (kemajemukan). Gus dur tidak membedakan satu individu dengan individu
lainnya atau kelompok satu dengan kelompok lainnya. Mereka adlah manusia yang
hidup dalam suatu kemajemukan. Perbedaan etnik, bangsa, warna kulit, bahasa,
profesi, hobi, bahkan agama dan keyakinan merupakan suatu keniscayaan yang
harus dihormati, dihargai dan tidak perlu dijadikan kendala dalam pergaulan
antar umat manusia.
Pluralisme bukan berarti
generalisasi terhadap kebenaran, tetapi sebuah paham yang mengajarkan kesadaran
bahwa, di luar keyakinan yang ita pegang, ada keyakinan-keyakinan lain yang
berbeda. Pluralisme mengajarkan akan adanya kemajemukan dalam kelompok-kelompok
manusia.
Saking pluralismenya, sampai-sampai
tidak jarang Gus Dur tidak mengetahui agama dan keyakinan orang yang sudah lama
dikenalnya. Terhadap orang-orang dan dalam kondisi tertentu, Gus Dur tidak
pernah bertanya tentang hal-hal yang dianggapnya sensitif, termasuk agama dan
keyakinan. Demikianlah Gus dur dalam bergaul. Ia begitu luwes, hangat,
egaliter, tidak pandang bulu dan anti diskriminasi.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur
lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI
pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan
langsung dari para kyai besar di Jawa.
Pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984 Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU).
Lima gugus pemikiran Gus Dur:
1.
Dalam
keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU
2.
Abdurrahman
Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan
3.
Demokrasi
adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa
4.
Abdurrahman
Wahid adalah penjaga tradisi
5.
Islam
akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial.
Pandangan dan sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan sikap rahmatan
lil ‘alamin, memberikan kasih sayang kepada semua manusia tanpa pandang
bulu. Keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih
tinggi, yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Salah satu tugas
utama dari setiap orang yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah
menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan
memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).
Sebagai seorang yang ‘alim beliau mempunyai banyak keistimewaan,
seperti mudah mengenal dan dikenal oleh orang lain, sense of humornya yang
tinggi dan juga jiwa pluralisme yang melekat pada diri beliau.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtir
, A. Nur Alam. 2008. 99 Keistimewaan
Gus Dur. Jakarta: Kultura.
Iskandar,
A Muhaimin. 2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur.
Yogyakarta: LKiS.
Masdar,
Umaruddin. 2005. Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas
Etnis-Keagamaan. Jogjakarta: KLIK.R
N.
Ibad, M. 2010. Leadership Secrets of Gus Dur-Gus Miek: Rahasia Mengelola
Potensi Diri Untuk Menjadi Pemimpin yang Dicintai. Yogyakarta: PT. LKiS.
Saefullah, Aris. 2003. Gus Dur VS Amien Rais:
Dakwah Kultural-Struktural.
[1] Aris
Saefullah. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural.
(Yogyakarta: laelathinkers, 2003). Hlm. 65
[2] Ibid.
Hlm. 65-67
[3]
Umaruddin
Masdar. Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas
Etnis-Keagamaan. (Jogjakarta: KLIK.R, 2005). Hlm.57
[4] A Muhaimin
Iskandar. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. (Yogyakarta: LKiS,
2010). Hlm. 8-12
[5] A. Nur Alam
Bakhtir. 99 Keistimewaan Gus Dur. (Jakarta: Kultura, 2008). Hlm. 1-2
[6] Ibid.
Halaman. 20-22
How to Play Online Baccarat - Wilbur | Wilbur | Wilbur |
ردحذفFor the 바카라 사이트 uninitiated, Baccarat is a favorite among gamblers at the best casino カジノ シークレット for a high stakes card game, which features the 메리트카지노 best hand, the best chance of